02:11 AM
Seorang perempuan kaukasia berlari sendirian menembus gelapnya malam. Jalanan sepi. Dua jam terakhir hanya terlihat sebuah motor yang melintas dengan kecepatan tinggi.
Nafas perempuan itu memburu kencang. Keringat membasahi dahi dan lehernya. Kaos yang dikenakannya berubah warna menjadi lebih gelap di bagian punggung dan ketiak. Perempuan itu berlari menuju ke sebuah minimarket yang terang benderang, sekitar 100 meter di depannya. Ia bagaikan ngengat yang terbang melesat mendatangi lampu taman.
Pintu minimarket seperti hampir copot saat didorong perempuan itu dengan sekuat tenaga. Dia berhenti sejenak, menumpukan kedua tangannya di lutut. Napasnya masih memburu. Keringat masih menetes dari dahinya, meluncur pelan ke arah dagu, lalu terjatuh ke atas lantai minimarket.
Perempuan itu menoleh ke arah kasir yang menatapnya dengan mulut menganga.
“Ice cream?” tanya perempuan itu dengan napas yang masih tersengal-sengal.
Laki-laki yang bertugas sebagai kasir masih menatap perempuan itu dengan takjub. Seperti baru saja tersadar dengan pertanyaan si perempuan, laki-laki itu mengangkat tangannya dengan gerakan lambat, menunjuk ke arah freezer yang terletak di sudut kiri ruangan, masih dengan tampang melongo.
“Thanks!” kata perempuan itu sambil bergegas menuju ke arah yang ditunjukkan kasir. Digesernya penutup freezer lalu dengan sangat buru-buru diambilnya satu buah es krim cone. Perempuan itu menggeser kembali penutup freezer ke posisi semula lalu melangkah cepat ke arah kasir. Dengan tangan sedikit gemetar, perempuan itu meletakkan selembar uang yang sedari tadi digenggamnya ke atas meja kasir.
“Keep the change,” kata perempuan itu sambil berjalan ke arah pintu.
“Er, Miss…”
Perempuan itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah kasir.
“Sorry. No dollar,” kata si kasir.
Perempuan itu mengernyitkan dahinya lalu mendekat ke meja kasir.
“What?” tanya perempuan itu.
“Sorry. No dollar. Rupiah only,” kata si kasir.
Perempuan itu mendengus kesal. Dia merogoh saku celananya dan menarik keluar beberapa lembar uang. Tidak ada selembar rupiah pun di tangannya. Perempuan itu mengepalkan tangannya sambil memejamkan matanya sambil mengerang pelan.
“I’m sorry, I don’t have…” kata si perempuan sambil menunjukkan lembaran yang ada di tangannya.
Kasir melihat lembaran uang yang ditunjukkan si perempuan lalu menatap mata si perempuan.
“Sorry, Miss. No dollar. Rupiah only,” kata si kasir sambil mengulurkan tangannya.
Perempuan itu terlihat sangat kesal. “Please…” katanya dengan suara lirih.
Kasir masih mengulurkan tangannya. Raut wajahnya datar.
Perempuan itu menyerah. Diletakkannya es krim yang sedari tadi dipegangnya ke tangan kasir lalu diambilnya lembaran uang dari atas meja kasir. Tanpa menunggu lama, ditinggalkannya minimarket itu dengan tergesa-gesa.
Di depan minimarket, perempuan itu berdiri di pinggir jalan lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Sejurus kemudian, dia berlari ke arah kiri menuju ke tempat penukaran uang yang letaknya tak terlalu jauh dari minimarket.
Ukuran bangunannya cukup kecil dengan neon box besar nan mencolok bertuliskan “Money Changer” dan “Open 24 Hours”. Perempuan itu membuka pintu lalu masuk. Di balik loket, duduk seorang pria paruh baya yang sedang membaca majalah. Ia mengenakan kemeja biru muda. Kepalanya sedikit botak dan dia mengenakan kacamata baca.
Ketika perempuan itu berdiri tepat di depan loket, pria paruh baya itu menatap cukup lama ke arahnya. Perempuan itu lalu menyodorkan selembar uang yang tadi disodorkannya kepada kasir minimarket. Pria paruh baya itu hanya diam menatap lembaran uang yang disodorkan si perempuan lalu kembali menatap si perempuan.
“Is that blood?” tanya si pria paruh baya dengan suara dingin.
Perempuan itu diam cukup lama seraya memperhatikan noda darah di lembaran uang yang disodorkannya.
“Please, make it quick,” kata si perempuan dengan suara memelas.
Pria paruh baya itu masih diam dan hanya menatap si perempuan. Dengan enggan tangannya mengambil lembaran uang yang disodorkan si perempuan, membuka laci, memasukkan lembaran uang ke dalam laci, mengambil empat lembar uang dari laci, lalu menyodorkannya kepada si perempuan. Perempuan itu lalu mengambil uang yang baru saja diterimanya dan menggenggamnya erat-erat.
“Thanks…” ucapnya lirih.
Pria paruh baya itu hanya diam lalu melanjutkan membaca majalah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Perempuan itu segera membalikkan badannya, berjalan ke arah pintu, lalu meninggalkan tempat penukaran uang itu. Dia lalu segera berlari menuju minimarket.
Untuk kedua kalinya, perempuan itu menyerbu masuk ke dalam minimarket. Dia langsung berjalan cepat menghampiri freezer lalu mengambil satu es krim cone. Didatanginya kasir lalu diserahkannya empat lembar uang yang sedari tadi digenggamnya.
“Keep the change,” ujar si perempuan sambil berjalan menuju pintu minimarket. Kali ini kasir minimarket tidak menghentikannya. Perempuan itu keluar dari minimarket, berjalan sedikit cepat, lalu mulai berlari.
Dia terus berlari menembus gelapnya malam. Napasnya memburu dan bulir-bulir keringat mulai tumbuh subur di dahinya.
“I hope it’s not too late,” gumamnya sambil menyeka air mata yang akhirnya membasahi pipinya.
***
01: 52 AM
Andrew dan Joanna meninggalkan kedai makan yang kemudian segera disusul dengan si pemilik kedai menurunkan rolling door. Ini pertama kalinya pasangan itu liburan di Jakarta. Joanna mengeluarkan ponsel dari dompetnya, berniat memesan ojek online untuk kembali ke hotel. Andrew membuat gestur agar Joanna membatalkan pesanannya.
“Let’s take a walk. I wanna get some ice cream,” kata Andrew.
Joanna menatap Andrew sejenak lalu berkata, “Yeah, sure! I think there’s a convenience store not far from here.”
Mereka lalu berjalan menyusuri trotoar. Sesekali mengobrol dan tertawa.
“It’s so quiet.”
“Yeah.”
Joanna mendekap lengan Andrew. “You really love ice cream, don’t you?” ucapnya lirih.
Andrew cuma tersenyum.
Tiba-tiba dua orang laki-laki muncul dari gang yang gelap. Andrew dan Joanna menghentikan langkahnya. Kedua laki-laki itu berjalan mendekat. Andrew melangkah mundur pelan-pelan. Tangan kanannya membentang ke samping, menghalau Joanna agar pindah ke belakangnya.
“Good night, mister!” kata salah seorang laki-laki itu. Aroma alkohol menyeruak keluar dari mulutnya. Laki-laki yang satu lagi hanya diam sambil menatap tajam ke arah Joanna.
“Beutipul night yes?” kata laki-laki itu lagi sambil berusaha meraih pundah Andrew. Andrew mundur, berusaha menjauhi laki-laki itu.
“Please,” kata Andrew.
“Kemon mister, jangan takut!” kata si laki-laki lagi, masih berusaha merangkul Andrew. “Money mister. Money!”
Andrew dan Joanna terpojok di depan sebuah kios pulsa. Laki-laki itu masih berusaha mendekati mereka. Temannya masih menatap tajam ke arah Joanna.
“Money mister. You have money?”
“Okay. Okay,” kata Andrew terbata-bata sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya.
Kejadian berikutnya berlangsung begitu cepat. Laki-laki yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau dari belakang celananya. Dihujamkannya pisau itu ke perut bagian kiri Andrew. Joanna berteriak. Andrew memegang perutnya. Tangannya seketika memerah. Laki-laki yang baru saja menusuknya merampas dompet yang ada di tangan kanan Andrew. Dia lalu mengacungkan pisau ke leher Joanna.
“Dompet!” teriaknya sambil menggoyang-goyangkan pisau. Joanna berteriak tertahan dan mulai menangis. Andrew terduduk di teras kios.
“Dompet!” teriak laki-laki itu sekali lagi. Joanna berjongkok ketakutan, menyerahkan dompetnya kepada si laki-laki. Laki-laki itu merampas dompet Joanna secepat kilat lalu berlari kembali ke gang yang gelap.
“Tengkyu mister,” kata laki-laki yang satu lagi sambil tersenyum lalu berjalan menyusul temannya sambil bersiul.
Joanna masih menangis. Tangannya gemetar. Ia ingin menyentuh Andrew tapi terlalu takut untuk melakukannya. “Oh my God. Oh my god,” gumamnya berulang-ulang.
“It’s okay. I’m okay,” kata Andrew berusaha menenenangkan Joanna.
“What should I do? What should I do?” tanya Joanna sambil terisak.
Andrew merogoh saku celananya lalu memberikan selembar uang pada Joanna. “Go get me some ice cream.”
Joanna menerima uang itu. Dia melihat noda darah yang menempel di uangnya lalu menatap Andrew. Ia kembali menangis. “What about you?”
“I’m fine. Just get me some ice cream.”
“But—“
“Go.”
Joanna masih menangis. Ia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan Andrew. Langkahnya makin cepat sampai akhirnya ia berlari sendirian menembus gelapnya malam. Jalanan sepi. Dua jam terakhir hanya terlihat sebuah motor yang melintas dengan kecepatan tinggi. Joanna menyeka air matanya.
“I’m gonna get you your ice cream,” gumamnya.
FIN
Cerita ini dibuat berdasarkan foto dalam tweet di akun M. Irfan Ramli.