PERCAKAPAN DUA ORANG KASIR MINIMARKET YANG MEROKOK BERSAMA DI TERAS MINIMARKET PADA PUKUL 4 PAGI SAAT TIDAK ADA PENGUNJUNG YANG DATANG UNTUK BERBELANJA

“Pinjem koreknya,” kata Ahmad pada rekan kerjanya.

Saat itu hampir pukul 4 pagi. Tempat kerja mereka sedang sepi, tak ada pengunjung satu pun. Dua orang kasir minimarket itu duduk di lantai teras minimarket, menikmati sebatang rokok sebelum kembali meneruskan pekerjaan mereka.

“Kemarin aku baca artikel di situs binatang-binatang gitu,” kata Supri sambil menjentikkan abu rokoknya.

“Tentang apa emangnya?” Tanya Ahmad.

“Katanya ada spesies hewan baru gitu ditemukan di Laut Karibia. Sejenis cacing gitu atau apalah. Panjangnya delapan meter. Hewan ini bersembunyi di dalem pasir, nungguin ikan-ikan yang bakal jadi mangsanya.”

“Hmmm, menarik,” kata Ahmad acuh tak acuh.

“Baca itu aku jadi takut berenang di Laut Karibia.”

“Kok bisa?”

“Ya takut aja. Ada hewan nggak jelas gitu. Gimana kalo itu hewan nggigit kaki aku pas aku berenang?”

Ahmad cuma bergumam. Dia menghisap rokoknya lalu tertawa mengejek.

“Kok ketawa?”

“Ya sebenernya kamu nggak perlu takut, lah.”

“Kenapa?”

“Ya makhluk entah apa itu kan adanya di Laut Karibia. Coba kamu pikir, berapa besar sih peluangnya kamu bisa berenang di Laut Karibia? Ketakutanmu nggak masuk akal.”

Supri cuma diam. Dihisapnya rokoknya untuk terakhir kali sebelum menginjak puntung rokok dengan sepatunya. Dia lalu berdiri dan berjalan masuk ke minimarket.

Ahmad mematikan rokoknya lalu ikut berdiri. “Berenang di Laut Karibia. Ada-ada saja,” gumamnya sambil tersenyum.

SEKIAN

Kodrat

Perempuan itu tertawa kecil.

“Ada yang lucu?” Tanya pria yang duduk di depannya. Pria itu membuka map, sekilas melihat berkas, lalu menatap lurus ke arah si perempuan.

“Nggak,” jawab si perempuan sambil tersenyum. “Aku hanya teringat kata-kata yang selalu diucapkan suamiku.”

“Maksud Anda, mantan suami Anda?”

“Iya. Betul. Mantan suami.”

Pria itu diam sejenak. Jarinya memain-mainkan ujung berkas.

“Apa kata-katanya?” tanya pria itu.

“Eh?”

“Kata-kata yang sering diucapkan mantan suami Anda. Apa itu?”

“Oh,” kata si perempuan lirih. Dia menunduk, memandang tangannya yang tergeletak di atas pahanya. “Dia selalu bilang kalau kodrat seorang wanita itu hanya seputar kasur, dapur, dan sumur,” kata si perempuan lagi. Suaranya terdengar sayu.

Tiba-tiba saja perempuan itu mengangkat wajahnya lalu menatap si pria sambil tersenyum.

“Aku boleh minta rokok?”

“Anda merokok?”

Perempuan itu mengangguk. “Aku baru saja memutuskan untuk mulai merokok. Sekarang.”

Pria itu merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebungkus rokok, membuka bungkusnya, menarik satu batang rokok, lalu menyodorkannya ke arah si perempuan. Perempuan itu mengambil rokok yang diberikan si pria, menyelipkannya ke bibirnya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. Pria itu lalu menyulut rokok yang bertengger di bibir si perempuan. Perempuan itu lalu kembali ke posisi duduknya semula, menghisap rokok dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya ke arah langit-langit ruangan.

“Anda tidak terlihat seperti orang yang baru pertama kali merokok,” kata si pria.

“Oya?” Tanya si perempuan dengan suara lirih.

Pria itu kembali terdiam. Dengan canggung dia berdiri dari kursi.

“Saya mau ambil kopi. Anda mau juga? Atau teh, mungkin?”

Perempuan itu diam saja.

“Baiklah,” kata si pria sambil membuka pintu, berjalan keluar ruangan, lalu menutup pintu.

Pria itu lalu berjalan masuk ke ruangan yang terletak tepat di sebelah ruangan yang baru saja ditinggalkannya.  Dia mengambil sebuah gelas plastik, menekan tuas penampung air, lalu minum.

“Bagaimana menurutmu?” Tanya rekannya yang sedari tadi duduk memperhatikan semua yang terjadi di ruangan sebelah melalui kaca dua arah.

Pria itu lalu duduk di sebelah rekannya.

“Dia tampak… Normal?”

Rekannya berguman.

“Mayat suaminya ditemukan di dalam sumur?” Tanya pria itu.

“Potongan mayat,” kata rekannya, memberi penekanan pada kata ‘potongan’. “Dia menggorok leher suaminya saat suaminya sedang tidur. Mayat lalu dibawa ke dapur dan dipotong menjadi sebelas bagian. Potongan tubuh lalu dibuang ke dalam sumur.”

Pria itu menghela napas. “Kasur, dapur, sumur,” gumamnya.

“Apa?”

“Kodrat wanita.”

Rekannya menatap pria itu dengan kening berkerut. Pria itu bangkit dari kursi, mengisi gelas plastik yang sedari tadi dipegangnya dengan kopi, lalu berjalan ke arah pintu.

“Sepertinya ini akan jadi malam yang panjang,” gumamnya sembari meninggalkan ruangan.

 

TAMAT

Tagged

Rupiah Only

02:11 AM

Seorang perempuan kaukasia berlari sendirian menembus gelapnya malam. Jalanan sepi. Dua jam terakhir hanya terlihat sebuah motor yang melintas dengan kecepatan tinggi.

Nafas perempuan itu memburu kencang. Keringat membasahi dahi dan lehernya. Kaos yang dikenakannya berubah warna menjadi lebih gelap di bagian punggung dan ketiak. Perempuan itu berlari menuju ke sebuah minimarket yang terang benderang, sekitar 100 meter di depannya. Ia bagaikan ngengat yang terbang melesat mendatangi lampu taman.

Pintu minimarket seperti hampir copot saat didorong perempuan itu dengan sekuat tenaga. Dia berhenti sejenak, menumpukan kedua tangannya di lutut. Napasnya masih memburu. Keringat masih menetes dari dahinya, meluncur pelan ke arah dagu, lalu terjatuh ke atas lantai minimarket.

Perempuan itu menoleh ke arah kasir yang menatapnya dengan mulut menganga.

“Ice cream?” tanya perempuan itu dengan napas yang masih tersengal-sengal.

Laki-laki yang bertugas sebagai kasir masih menatap perempuan itu dengan takjub. Seperti baru saja tersadar dengan pertanyaan si perempuan, laki-laki itu mengangkat tangannya dengan gerakan lambat, menunjuk ke arah freezer yang terletak di sudut kiri ruangan, masih dengan tampang melongo.

“Thanks!” kata perempuan itu sambil bergegas menuju ke arah yang ditunjukkan kasir. Digesernya penutup freezer lalu dengan sangat buru-buru diambilnya satu buah es krim cone. Perempuan itu menggeser kembali penutup freezer ke posisi semula lalu melangkah cepat ke arah kasir. Dengan tangan sedikit gemetar, perempuan itu meletakkan selembar uang yang sedari tadi digenggamnya ke atas meja kasir.

“Keep the change,” kata perempuan itu sambil berjalan ke arah pintu.

“Er, Miss…”

Perempuan itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah kasir.

“Sorry. No dollar,” kata si kasir.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya lalu mendekat ke meja kasir.

“What?” tanya perempuan itu.

“Sorry. No dollar. Rupiah only,” kata si kasir.

Perempuan itu mendengus kesal. Dia merogoh saku celananya dan menarik keluar beberapa lembar uang. Tidak ada selembar rupiah pun di tangannya. Perempuan itu mengepalkan tangannya sambil memejamkan matanya sambil mengerang pelan.

“I’m sorry, I don’t have…” kata si perempuan sambil menunjukkan lembaran yang ada di tangannya.

Kasir melihat lembaran uang yang ditunjukkan si perempuan lalu menatap mata si perempuan.

“Sorry, Miss. No dollar. Rupiah only,” kata si kasir sambil mengulurkan tangannya.

Perempuan itu terlihat sangat kesal. “Please…” katanya dengan suara lirih.

Kasir masih mengulurkan tangannya. Raut wajahnya datar.

Perempuan itu menyerah. Diletakkannya es krim yang sedari tadi dipegangnya ke tangan kasir lalu diambilnya lembaran uang dari atas meja kasir. Tanpa menunggu lama, ditinggalkannya minimarket itu dengan tergesa-gesa.

Di depan minimarket, perempuan itu berdiri di pinggir jalan lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Sejurus kemudian, dia berlari ke arah kiri menuju ke tempat penukaran uang yang letaknya tak terlalu jauh dari minimarket.

Ukuran bangunannya cukup kecil dengan neon box besar nan mencolok bertuliskan “Money Changer” dan “Open 24 Hours”. Perempuan itu membuka pintu lalu masuk. Di balik loket, duduk seorang pria paruh baya yang sedang membaca majalah. Ia mengenakan kemeja biru muda. Kepalanya sedikit botak dan dia mengenakan kacamata baca.

Ketika perempuan itu berdiri tepat di depan loket, pria paruh baya itu menatap cukup lama ke arahnya. Perempuan itu lalu menyodorkan selembar uang yang tadi disodorkannya kepada kasir minimarket. Pria paruh baya itu hanya diam menatap lembaran uang yang disodorkan si perempuan lalu kembali menatap si perempuan.

“Is that blood?” tanya si pria paruh baya dengan suara dingin.

Perempuan itu diam cukup lama seraya memperhatikan noda darah di lembaran uang yang disodorkannya.

“Please, make it quick,” kata si perempuan dengan suara memelas.

Pria paruh baya itu masih diam dan hanya menatap si perempuan. Dengan enggan tangannya mengambil lembaran uang yang disodorkan si perempuan, membuka laci, memasukkan lembaran uang ke dalam laci, mengambil empat lembar uang dari laci, lalu menyodorkannya kepada si perempuan. Perempuan itu lalu mengambil uang yang baru saja diterimanya dan menggenggamnya erat-erat.

“Thanks…” ucapnya lirih.

Pria paruh baya itu hanya diam lalu melanjutkan membaca majalah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Perempuan itu segera membalikkan badannya, berjalan ke arah pintu, lalu meninggalkan tempat penukaran uang itu. Dia lalu segera berlari menuju minimarket.

Untuk kedua kalinya, perempuan itu menyerbu masuk ke dalam minimarket. Dia langsung berjalan cepat menghampiri freezer lalu mengambil satu es krim cone. Didatanginya kasir lalu diserahkannya empat lembar uang yang sedari tadi digenggamnya.

“Keep the change,” ujar si perempuan sambil berjalan menuju pintu minimarket. Kali ini kasir minimarket tidak menghentikannya. Perempuan itu keluar dari minimarket, berjalan sedikit cepat, lalu mulai berlari.

Dia terus berlari menembus gelapnya malam. Napasnya memburu dan bulir-bulir keringat mulai tumbuh subur di dahinya.

“I hope it’s not too late,” gumamnya sambil menyeka air mata yang akhirnya membasahi pipinya.

***

 01: 52 AM

Andrew dan Joanna meninggalkan kedai makan yang kemudian segera disusul dengan si pemilik kedai menurunkan rolling door. Ini pertama kalinya pasangan itu liburan di Jakarta. Joanna mengeluarkan ponsel dari dompetnya, berniat memesan ojek online untuk kembali ke hotel. Andrew membuat gestur agar Joanna membatalkan pesanannya.

“Let’s take a walk. I wanna get some ice cream,” kata Andrew.

Joanna menatap Andrew sejenak lalu berkata, “Yeah, sure! I think there’s a convenience store not far from here.”

Mereka lalu berjalan menyusuri trotoar. Sesekali mengobrol dan tertawa.

“It’s so quiet.”

“Yeah.”

Joanna mendekap lengan Andrew. “You really love ice cream, don’t you?” ucapnya lirih.

Andrew cuma tersenyum.

Tiba-tiba dua orang laki-laki muncul dari gang yang gelap. Andrew dan Joanna menghentikan langkahnya. Kedua laki-laki itu berjalan mendekat. Andrew melangkah mundur pelan-pelan. Tangan kanannya membentang ke samping, menghalau Joanna agar pindah ke belakangnya.

“Good night, mister!” kata salah seorang laki-laki itu. Aroma alkohol menyeruak keluar dari mulutnya. Laki-laki yang satu lagi hanya diam sambil menatap tajam ke arah Joanna.

“Beutipul night yes?” kata laki-laki itu lagi sambil berusaha meraih pundah Andrew. Andrew mundur, berusaha menjauhi laki-laki itu.

“Please,” kata Andrew.

“Kemon mister, jangan takut!” kata si laki-laki lagi, masih berusaha merangkul Andrew. “Money mister. Money!”

Andrew dan Joanna terpojok di depan sebuah kios pulsa. Laki-laki itu masih berusaha mendekati mereka. Temannya masih menatap tajam ke arah Joanna.

“Money mister. You have money?”

“Okay. Okay,” kata Andrew terbata-bata sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya.

Kejadian berikutnya berlangsung begitu cepat. Laki-laki yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau dari belakang celananya. Dihujamkannya pisau itu ke perut bagian kiri Andrew. Joanna berteriak. Andrew memegang perutnya. Tangannya seketika memerah. Laki-laki yang baru saja menusuknya merampas dompet yang ada di tangan kanan Andrew. Dia lalu mengacungkan pisau ke leher Joanna.

“Dompet!” teriaknya sambil menggoyang-goyangkan pisau. Joanna berteriak tertahan dan mulai menangis. Andrew terduduk di teras kios.

“Dompet!” teriak laki-laki itu sekali lagi. Joanna berjongkok ketakutan, menyerahkan dompetnya kepada si laki-laki. Laki-laki itu merampas dompet Joanna secepat kilat lalu berlari kembali ke gang yang gelap.

“Tengkyu mister,” kata laki-laki yang satu lagi sambil tersenyum lalu berjalan menyusul temannya sambil bersiul.

Joanna masih menangis. Tangannya gemetar. Ia ingin menyentuh Andrew tapi terlalu takut untuk melakukannya. “Oh my God. Oh my god,” gumamnya berulang-ulang.

“It’s okay. I’m okay,” kata Andrew berusaha menenenangkan Joanna.

“What should I do? What should I do?” tanya Joanna sambil terisak.

Andrew merogoh saku celananya lalu memberikan selembar uang pada Joanna. “Go get me some ice cream.”

Joanna menerima uang itu. Dia melihat noda darah yang menempel di uangnya lalu menatap Andrew. Ia kembali menangis. “What about you?”

“I’m fine. Just get me some ice cream.”

“But—“

“Go.”

Joanna masih menangis. Ia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan Andrew. Langkahnya makin cepat sampai akhirnya ia berlari sendirian menembus gelapnya malam. Jalanan sepi. Dua jam terakhir hanya terlihat sebuah motor yang melintas dengan kecepatan tinggi. Joanna menyeka air matanya.

“I’m gonna get you your ice cream,” gumamnya.

 

FIN

 

Cerita ini dibuat berdasarkan foto dalam tweet di akun M. Irfan Ramli.

 

Tagged

PERSPEKTIF

“Makan siang, yuk!”
Aku menengadahkan kepalaku. Siska sedang menyandarkan kepalanya di atas kedua tangannya yang tersilang di pucuk pembatas kubikel.
“Uhmmm…”
“Ayooo!”
“Kamu duluan aja,” kataku sambil merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjaku.
Siska berdecak. “Ya udah,” katanya sambil berlalu.
Aku menyusun berkas di bagian kiri meja, mematikan komputer, lalu meregangkan tubuh dengan cara menarik tanganku ke atas. Aku berdiri, mengambil ponselku, lalu melangkah keluar kubikel. Baru beberapa langkah, kudengar ada yang memanggil namaku.
“Burhan!”
Aku menoleh. Rustam berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. “Makan siang di mana?” tanyanya kemudian.
“Bu Tutik,” jawabku datar.
“Ah…” Rustam terdiam sebentar, menatapku sambil tersenyum. “Ya udah. Aku makan di kantin aja.”
Aku mengangguk lalu berjalan meninggalkan Rustam.

***

Aku mengambil piring dan menuangkan nasi ke atasnya. Kantin Bu Tutik, seperti layaknya jam makan siang, ramai oleh karyawan dari berbagai kantor yang terletak di sekitarnya. Beberapa wajah tampak tidak asing bagiku. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di tempat yang sama denganku meskipun aku tak mengenal mereka secara personal.
Aku mengambil sepotong telur dadar dan meletakkannya di atas nasi. Satu sendok besar kuah pedas kusiramkan ke atas telur dadar itu. Aku lalu mengambil dua butir perkedel dan dua sendok besar tumis jipang. Kutambahkan dua sendok kecil sambal goreng ke atas nasi, mengambil segelas es teh, lalu berjalan ke arah kasir.
Kuletakkan piring dan gelas es teh di atas baki. Kuambil sepotong melon lalu kuletakkan di sebelah gelas es teh. Karyawan Bu Tutik menggerak-gerakkan jarinya di atas tombol mesin kasir, menyobek kertas nota, lalu meletakkannya di atas baki.
“Semuanya jadinya dua puluh dua ribu, Mas.”
Kukeluarkan dua lembar uang dari dompetku dan kuserahkan kepada si karyawan. Karyawan itu menerima uang yang kuberikan, membuka laci mesin kasir, memasukkan uang ke dalam laci, mengambil dua lembar uang kertas dan dua buah uang logam, lalu meletakkannya di atas baki.
“Kembaliannya, Mas. Makasih.”
Aku mengangguk lalu membawa bakiku ke arah meja. Semua meja penuh. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri sambil terus berjalan. Akhirnya aku meletakkan bakiku di meja kosong yang terletak di sudut ruangan. Aku duduk dan mulai makan sambil menggerak-gerakkan jariku di atas layar ponsel.
Beberapa saat kemudian, entah mengapa, aku memiliki dorongan yang sangat besar untuk menoleh ke arah kiri. Dan di sanalah dia. Perempuan itu. Duduk sendian menikmati makan siangnya sambil membaca majalah. Perempuan yang sudah mengikuti aku ke mana pun aku pergi selama beberapa minggu ini. Perempuan yang selalu kutemui hampir di mana pun aku berada. Di supermarket, di dalam bis, di taman, di toko buku, di toko barang bekas, di mana pun. Perempuan itu.
Dia mengenakan blus berwarna putih yang dibalut blazer berwarna biru dongker. Roknya berwarna sama dengan blazer yang dia kenakan dengan panjang sekitar satu jengkal di bawah lutut. Sepatunya bagus, dengan hak yang tidak terlalu tinggi, berwarna hitam. Rambutnya sebahu dan diikat dengan sangat rapi menggunakan ikat rambut yang juga berwarna hitam. Kulitnya putih. Riasan wajahnya tidak terlihat berlebihan. Dia cantik. Tidak terlalu menonjol, memang. Penampilannya, maksudku. Tapi cantik. Ya, dia cantik. Dan sepertinya aku mulai terpikat padanya. Agak terpikat.
Aku tahu perempuan itu sengaja makan di warung ini karena mengetahui bahwa aku sering makan di sini. Aku juga tahu alasan satu-satunya perempuan itu makan di warung ini adalah untuk mengikutiku, mengamatiku ketika aku tidak sadar sedang diamati, merekam setiap gerak-gerikku dalam kepalanya. Aku tahu karena perempuan itu sudah mengikuti aku ke mana pun aku pergi selama beberapa minggu ini. Aku tahu karena perempuan itu selalu kutemui hampir di mana pun aku berada. Di supermarket, di dalam bis, di taman, di toko buku, di toko barang bekas, di mana pun. Perempuan itu.
Tapi aku pura-pura tidak tahu karena aku menikmati semua ini, semua perhatian ini. Aku pura-pura tidak tahu jika perempuan itu sedang mengamatiku dari kejauhan. Aku pura-pura tidak tahu dan melanjutkan makan siangku sambil menggerak-gerakkan jariku di atas layar ponsel.

***

Rustam menghempaskan tubuh gempalnya ke atas bangku. Keringat mengucur deras dari setiap jengkal pori-pori kulitnya. Napasnya memburu, seperti bison yang baru saja meloloskan diri dari kejaran singa. Dia mengambil botol minum lalu mulai menenggak air seperti kesetanan. Dia menyodorkan botol minum itu ke arahku yang kubalas dengan gelengan pelan.
“Rus…”
“Hem…”
“Kamu inget nggak cewek yang ada di sini sekitar tiga minggu yang lalu? Waktu kita tanding lawan kantornya Beni itu…”
“Cewek?”
Rustam tampak berpikir. Matanya bergerak mengikuti Anton yang sedang menggiring bola menuju gawang. Tiba-tiba saja dia berteriak.
“TEMBAK, TON!”
Bola gagal masuk gawang. Rustam terlihat sedikit kesal.
“Cewek?” ulangnya.
“Iya. Yang di sini waktu kita tanding lawan—“
“Oh, yang pake jaket merah itu?”
“Nah, iya, yang itu,” aku berusaha menjaga nada bicaraku agar tidak terlihat terlalu gembira. Tapi rupanya terlambat. Rustam keburu melihat mataku yang berapi-api.
Rustam tersenyum menggoda sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya ke arahku.
“Ada apa nih tiba-tiba nanyain cewek itu. Hayooo…”
“Nggak, sih. Penasaran aja,” jawabku datar, berusaha untuk terlihat biasa.
“Namanya Winda. Dia satu kantor sama si Beni. Anaknya biasa aja, sih. Maksudnya nggak ada yang istimewa-istimewa amat gitu. Masih single. Lo kalo mau nomornya, minta ke Beni aja.”
“Nggak, sih. Aku cuma—“
“HALAAAAH! GOBLOK!” teriak Rustam sambil melangkah masuk ke lapangan. Dedi berjalan melewati Rustam yang masih mengoceh lalu duduk di sebelahku.
“Kenapa lo senyam-senyum?” tanya Dedi.
“Nggak. Nggak apa-apa…”

***

Ya. Perempuan itu bernama Winda. Dia satu kantor sama Beni. Masih single. Hanya itu yang aku tahu. Dan tidak, aku tidak meminta nomornya ke Beni. Tapi setidaknya sekarang aku tahu nama perempuan yang selalu mengikutiku beberapa minggu belakangan. Mungkin dia memang menyukaiku. Tidak apa-apa. Aku juga mulai menyukainya. Mungkin suatu saat aku akan mengajaknya makan malam. Atau sekadar jalan-jalan menikmati sore di taman.
Bis berhenti. Seorang ibu dan dua orang laki-laki turun dari bis, berganti dengan naiknya seorang perempuan. Aku menoleh sedikit dan melihat wajah yang tak asing bagiku. Tentu saja aku mengenali wajah itu. Perempuan itu. Winda.
Dia pura-pura tidak melihat ke arahku meskipun aku tahu bahwa alasan satu-satunya dia naik bis ini adalah karena dia tahu kalau aku berada di bis ini. Aku tersenyum. Tidak apa-apa. Aku juga bisa berpura-pura tidak menyadari kehadirannya. Biarkan saja dia mengamatiku seolah-olah aku tidak sadar sedang diamati.

***

Empat hari yang lalu aku kembali memergoki Winda sedang mengikutiku. Waktu itu aku sedang berada di bar. Winda datang dan duduk tak jauh dariku. Seperti biasa, dia berpura-pura tidak melihat ke arahku. Permainan ini semakin menyenangkan. Aku nyaris tertawa saking gemasnya.
Dua hari yang lalu aku kembali “tak sengaja” bertemu dengannya. Waktu itu aku sedang berada di toko buku. Aku akhirnya menyadari kalau Winda sedang berada di toko buku yang sama, terpisah dua rak buku dariku. Semangat perempuan ini cukup membuatku kagum. Mengapa dia tak datang langsung saja kepadaku, mengajakku ngobrol, dan mungkin kami bisa pergi membeli es krim atau duduk di kursi taman sambil memberi makan merpati? Apa yang dia tunggu? Apakah aku harus bergerak duluan?
Aku mulai merasa bahwa kami berjodoh. Aku dan Winda.

***

Sudah hampir satu jam aku berdiri di depan apartemen ini. Entah apa yang kulakukan di sini. Mungkin aku sudah kehilangan akal sehatku. Tapi ini harus kulakukan. Tindakan orang itu sudah sangat mengganggu.
Aku melihatnya datang dari kejauhan. Dia tersenyum dan matanya berbinar. Menjijikkan sekali, pikirku. Dia mendekatiku seolah-olah tidak ada yang salah.
“Winda? Ngapain kamu di—“
PLAK!
Telapak tanganku mendarat di pipinya. Sesaat aku merasa telapak tanganku begitu panas. Laki-laki itu memegang pipinya sementara aku berusaha menahan air mataku yang dari tadi hampir mengucur. Aku geram. Aku marah.
“Heh, orang aneh!” bentakku sambil mengacungkan telunjukku. “Berhenti mengikutiku! Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku tidak sadar? Kalau sampai—“
Aku menyeka air mataku.
“Kalau sampai aku memergokimu masih mengikutiku, aku akan lapor polisi! Kamu dengar?! Dasar orang sakit!”
Aku berjalan tergopoh-gopoh meninggalkan laki-laki itu. Kalau sampai dia mengejarku dan menangkap tanganku, aku akan berteriak dan menonjok matanya. Lihat saja. Lihat saja.
Tapi itu tidak terjadi dan aku sampai di apartemenku dengan selamat. Aku menangis selama, entahlah, mungkin satu jam. Tapi aku sedikit lega. Setidaknya laki-laki itu tahu kalau aku tidak menyukai apa yang dilakukannya selama beberapa minggu belakangan ini.

***

Aku berjalan menyusuri koridor yang mengarah ke apartemenku. Hari ini cukup melelahkan. Nanti aku akan mandi lalu memasak spaghetti.
Ketika melewati tangga, aku baru sadar bahwa ada seorang perempuan yang sedang berdiri di depan apartemenku. Sepertinya tidak asing, pikirku. Aku berjalan mendekat dan bibirku tiba-tiba saja merekah. Tubuhku tiba-tiba saja terasa hangat. Kegembiraan yang munculnya entah dari mana seperti mengisi setiap sel dalam tubuhku.
“Winda? Ngapain kamu di—“
PLAK!
Telapak tangan perempuan itu mendarat di pipiku. Sesaat aku merasa pipiku begitu panas. Aku menatap wajah Winda yang mulai memerah. Air mata tampak berebut ingin keluar dari kelopak matanya. Apakah itu tangisan bahagia, pikirku. Lalu apakah tamparan barusan adalah ungkapan cinta?
“Heh, orang aneh!” bentak Winda sambil mengacungkan telunjuknya. “Berhenti mengikutiku! Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku tidak sadar? Kalau sampai—“
Winda menyeka air matanya.
“Kalau sampai aku memergokimu masih mengikutiku, aku akan lapor polisi! Kamu dengar?! Dasar orang sakit!”
Setelah berkata demikian, Winda berjalan tergopoh-gopoh meninggalkanku yang masih berdiri mematung sambil memegang pipiku. Aku tidak berusaha mengejarnya. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Winda menamparku lalu menyatakan perasaannya. Agak aneh, memang. Setidaknya kini aku tahu bahwa Winda memang memiliki perasaan padaku. Perasaan cinta. Mendengar Winda mengatakan bahwa dia mencintaiku membuatku tidak lagi merasakan nyeri yang menjalar di pipi kiriku.
Benar dugaanku. Kami berjodoh. Aku dan Winda. Ini akan jadi awal yang indah bagi kami. Tak sadar aku pun tersenyum.
Aku bahagia.

 

– TAMAT –

 

Tagged ,

Aku Ingin Jadi Penulis

“Aku ingin jadi penulis,” ujarku pagi itu dengan penuh semangat. Aku baru saja selesai mandi dan rambutku masih agak basah.

Burhan hanya tersenyum mendengar apa yang baru saja kukatakan. Dia menyeruput kopi dari cangkirnya lalu berkata, “Kamu tuh nggak mau jadi penulis. Kamu tuh cuma mau jadi Fiersa Besari. Kamu cuma mau bikin rangkaian kata-kata mutiara yang indah dan terkesan memiliki makna yang mendalam padahal nggak. Kamu cuma mau bikin puisi-puisi romantik tentang cinta dan omong kosong lainnya tentang perasaan yang mendalam dengan harapan kamu akan disukai oleh banyak wanita dan menjadi terkenal. Kamu tuh nggak mau jadi penulis.”

“Anjing!” umpatku kesal.

Burhan terkekeh. Dia berdiri dari kursi, kembali menyeruput kopinya, meletakkan cangkir di atas meja, lalu berjalan ke arah jendela. Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum sinis. “Percayalah, kamu nggak mau jadi penulis,” katanya lirih sebelum akhirnya dia melompat keluar jendela dari kamar apartemen yang terletak di lantai 12.

Aku mengeringkan rambutku dengan handuk, melempar handuk ke pojok kamar, lalu duduk di depan laptop. Kubuka halaman kosong di layar laptop dan mulai mengetik sebuah judul.

Aku Ingin Menjadi Fiersa Besari

Di bawahnya aku ketikkan:

“Aku ingin jadi penulis,” ujarku pagi itu dengan penuh semangat. Aku baru saja selesai mandi dan rambutku masih agak basah.

Lalu di bawahnya aku ketikkan:

Burhan hanya tersenyum mendengar apa yang baru saja kukatakan. Dia menyeruput kopi dari cangkirnya lalu berkata, “Kamu tuh nggak mau jadi penulis. Kamu tuh cuma mau jadi Fiersa Besari. Kamu cuma mau bikin rangkaian kata-kata mutiara yang indah dan terkesan memiliki makna yang mendalam padahal nggak. Kamu cuma mau bikin puisi-puisi romantik tentang cinta dan omong kosong lainnya tentang perasaan yang mendalam dengan harapan kamu akan disukai oleh banyak wanita dan menjadi terkenal. Kamu tuh nggak mau jadi penulis.”

Lalu di bawahnya aku ketikkan:

“Anjing!” umpatku kesal.

Lalu di bawahnya aku ketikkan:

Burhan terkekeh. Dia berdiri dari kursi, kembali menyeruput kopinya, meletakkan cangkir di atas meja, lalu berjalan ke arah jendela. Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum sinis. “Percayalah, kamu nggak mau jadi penulis,” katanya lirih sebelum akhirnya dia melompat keluar jendela dari kamar apartemen yang terletak di lantai 12.

Lalu di bawahnya aku ketikkan:

TAMAT

Aku menutup layar laptop lalu berjalan ke arah jendela. Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dengan penuh penghayatan, lalu aku melompat keluar jendela dari kamar apartemen yang terletak di lantai 12.

 

TAMAT

Tagged ,